Laman

Rabu, 16 Mei 2012

PRULARISME HUKUM DI INDONESIA

Pluralisme hukum (legal pluralism) diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial. hal ini Dapat dilihat dalam peraturan perundang-ungan di indonesia di antaranya :
Menentukan batas usia dewasa:
KUHP pasal. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup umur". Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewas.
Sedangkan Menurut uu no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam pasal 1 sebutkan  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Penentuan batas usia dewasa anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan seperti yang telah diuraikan satu persatu diatas, merupakan potret bagi pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku sampai dengan saat ini, hal tersebut merupakan cermin bagi masyarakat untuk menentukan batas usia saja tidak hanya diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tetapi di ada di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita yang berbeda-beda dalam menentukan batas usia dewasa anak.  
Asas-asas hukum pidana yang saling bertentangan satu sama lainnya dalam peraturan perundang-undangan hal tersebut dalam di lihat dalam produk perundang-undangan yang berlaku sampai dengan saat ini, di antaranya:
KUHP Pasal 1 (1) suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan yang telah ada, pasal ini dikenal dengan asas legalitas yang dijungjung tinggi oleh negara hukum. Asas legalitas ternyata tidak hanya di atur dalam KUHP saja, udang-undang no. 4 tahun 2004 sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 6 ankgka (1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan
pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini dapat lihat bahwa asas legalitas ada di atur dalam dua produk undang-undang yang berbeda.
Ada juga asas yang unik dalam perundang-undang kita penyapingan perkara juga di kenal dalam hukum acara kita di kenal dengan asas opotunitas atau juga disebut deponering, asas ini telah diterapkan dalam kasus bibit dan candra dalam kasus anggodo wijoyo dengan surat keputusan atau juga disebut Sp3,  Asas ini di atur dalam  Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang KUHApidana, pasal 14 huruf h menutup perkara demi kepentingan hukum, pasal 140 angka 2 huruf (a) dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau ternyata peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Kedua pasal tersebut dalam ilmu hukum pidana formil di kenal dengan asas oportunitas atau dapat juga disebut dengan defonering atau bisa juga disebut dengan penyampingan perkara pidana demi hukum. Dimana pasal ini sangat bertentangan dengan asas legalitas dalam pasal 1 angka 1 KUHP yang dihormti oleh negara hukum, sperti halnya bangsa indonesai.
Ternyata bukan hanya asas oportunitas saja yang menetang asas legalitas, Undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, juga menentang asas legalitas pasal 46 berbunyi ketentuan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini dapat di berlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, yang penetapannya di atur dengan undang-undang atau peraturan pengganti undang-undang tersendiri. Cetak tebal di atas dari penulis adalah menandakan bahwa kalimat tersebut dalam hukum pidana di kenal dengan asas Retroaktik atau juga bisa juga disebut asas berlaku surut terhaadap tindak pidana yang mana ketika perbuatan pidana di lakukan belum di atur dalam undang-ungdang yang mengaturnya.dan telah diterapkan dalam kasus bom bali dua dengan terpidan amrozi dengan putusan no. nomor : 317 / pid.b / 2003 / pn.dps. dengan pidana mati.
 Pasal 46 UUTPT (udang-undang tindak pidana terorisme) tersebut bertentangan dengan asas umum berbangsa dan bernegara salah satu asas yang sangat menentang pembelakuan asas retro aktif adalah asas legalitas yang di atur dalam pasal 1 angka 1 KUHPidana yang menghormati hak-hak sujek hukum dalam kedudukannya sebagai manusia yang di ciptakan di muka bumi ini.
Penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatkan setiap orang di yang disangka, ditahan, ditahan, dituntut ataupun diadili dan/atau dihadapkan dimuka persidangan pengadilan, wajib tidak dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata asas praduga tidak bersalah tidak hanya diatur dalam KUHAP saja beberapa peraturan perundang-undangan juga mengaturnya diantanya adalah Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970, sebagai mana telah diubah dengan undang-undang no. 4 tahun 2004 pasal 8, sebagai mana telah diganti dengan undang-undang no. 48 2009 kekuasaan kehakiman, pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Praduga Tak Bersalah atau "Presumption of Innocence" adalah asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara memasukannya kedalam konstitusinya, salah satunya bangsa indonesia sebagai negara hukum.
Bawha ternya asas praduga tidak bersalah tidak serta merta di hormati, hal tersebut terlihat di dalam undang-undang no. 39 tahun 2009  tentang  pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal 37 angka (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. (3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. (4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal tersebut dalam ilmu hukum pidana di kenal dengan asas praduga bersalah atau presumption of guilt, tentu hal tersebut dalam pemahan bahwa hukum acara dalam proses pengadilan tindak pidana korupsi juga mengacu kepada KUHApidana, namun kalau kita dilihat bahwa ternya asas praduga tidak bersalah yang di atur dalam KUHApidana pasal 17 dan undang-undang no. 39 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, dalam pasal 8, ternyata telah di abaikan dalam pemberlakuan pasal 37 undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Penulis menyebut hal tersebut dengan prularisme hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan kita yang kita anut sekarang masih prularisme, baik dari segi penerapan maupun dalam pengaturan pasal-pasal dalam perundang-undangan di indosia.