Laman

Jumat, 22 Juni 2012

HUKUM DAN MORAL


 
A. LATARBELAKANG
Istilah-istilah hukum, norma dan tradisi menjadi istilah yang umum, tidak terbatas dalam diskusi formal maupun informal. Di luar kalangan akademisi, istilah-istilah itu menjadi santapan obrolan sehari-hari. Jika kita membolak-balik koran atau majalah, kita sering menemui istilah-istilah. Berulangkali kita membaca kalimat-kalimat seperti ini: “Tidak ada orang yang kebal hukum”, “Hukum harus ditegakkan”, “Kita harus melestarikan tradisi dan budaya lokal”, “Norma-norma di masyarakat harus ditaati”, dan sebagainya.
Sebagian masyarakat merasa bahwa hukum, tradisi dan norma mempunyai peranan yang besar dalam hidup khususnya dalam bidang etika, “kesusilaan” yang artinya sama dengan etika terdiri dari bahasa Sanskerta “sila” yang berarti “norma” kehidupan dan “su” yang berarti “baik”. Etika menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik.
Di sisi lain, hukum, tradisi dan norma masih dibutuhkan sebagai aturan yang perlu dalam hidup manusia dan melindunginya dari kekacauan tabrakan antara kebebasan seseorang dengan kebebasan orang lain. Hukum, tradisi dan norma merupakan bantuan penting karena membebaskan manusia dari tugas berat untuk selalu memulai dari nol dalam menetapkan norma-norma etis bagi dirinya. Tulisan ini hendak berbicara mengenai hukum dan moral Bagian ini akan merefleksikan hukum dan moral yang dipakai sebagai dasar hidup bersama dengan sesama.

A. HUKUM
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.[1]
Hukum dari segi etimologi:
a.       hukum
kata hukum berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkhas” berarti hukum.
b.      Recht
Rech berasal dari “rectum” (bahasa latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan, bertalian dengan rectum di kenal kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Rex juga dapat diartikan “Raja” yang mempunyai regimen yang artinya kerajaan.
c.       Ius
Kata ius (latin) berarti hukum, berasal dari “Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iustitia” atau keadilan.
d.      Lex
Kata lex berasal dari bahasa latin dan berasal dari kata “lesere” artinya mengumpulkan.
Berdasarkan uraian di atas maka hukum dapat disimpulkan, bahwa hukum adalah keadilan, kewibawaan, ketaatan, kedamaian, dan bertalian erat dengan peraturan-peraturan yang berisi norma.[2]

B. Hukum Menurut Beberapa Pakar
Keragam tentang pendapat para ahli tentang hukum samapai pada saat ini belum ada satu pun yang dapat di jadikan sebagai defenisi yang diaku secara umum, untuk itu untuk menambah pandangan tentang hukum maka dapat diuraikan dalam beberapa pendapat ahli, yaitu :
a.       Plato
Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b.      Aristoteles
Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
c.       E. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup – perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.
d.      R. Soeroso SH
Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
e.       Abdulkadir Muhammad, SH
Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
f.       Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Dari berapa uraian di atas hukum adalah seperangkan aturan yang tersussun dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk menjaga ketertiban perilaku manusia berinteraksi dengan sesamanya. Agar tidak terjadi kekacauan dan agar tidak terjadi kerugian yang tidak perlu. Hukum berfungsi menjaga tatanan bersama. Tatanan bersama menurut norma hukum tidak selalu paralel atau sama dengan tatanan moral, akan tetapi sering kali bergandengan bersama.
C. MORAL
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di oleh orangtua dan sekolah, manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Fungsi moral bahwa ia mengatur perilaku manusia, bahwa ia menetapka hak dan kewajiban, dengan kata lain bahwa ia secara otoritatif menetapkan norma, pada hal fungsi yang senarnya adalah untuk memahami dan menjelaskan norma yang telah diciptakan oleh otoris moral atau adat. Kemurnian metodologi ilmu hukum menjadi terancam tidak hanya karena diabaikannya penghalangan yang memisahkannya dari ilmu alam, namun juga karena ilmu hukum tidak (atau tidak secara jelas) terpisahkan dari etika-yakni karena tidak ada pembedaan yang jelas antara hukum dan moral.[3]
D. Nilai Moral

1.      Pengertian Nilai Moral 
Nilai moral erta hubungannya dengan mausia, baik dalam bidang etika yang mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, maupun bidang estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan nilai masuk ketika manusiamemahami agam dan keyakinan beragama. Untuk mempertimbangkan danmengembangkan keyakinan diri dan aturan masyarakatnya dibutuhkan pemahamandan perenungan yang mendalam tentang mana yang sejatinya dikatakan baik, mana yang benar-benar buruk.[4]
2.      Proses Terbentuknya Nilai Morala.
a)      Pengaruh kehidupan keluarga dalam pembinaan nilai moralkeluarga bagian dari masyarakat, terpengaruh oleh tunututan kemajuan yang terjadi, namun masih banyak orang meyakini bahwa nilai moral itu hidup dan dibangundalam lingkungan keluarga.
b)      Pengaruh teman sebaya terhadap pembinaan nilai moral Sebagai makhluk sosial, anak pasti punya teman, dan pergaulan dengan teman akan menambah pembendaharaan informasi yang akhirnya akan mempengaruhi berbagai jenis kepercayaan yang dimilikinya. Keluarga sering dikagetkan oleh penolakan anak ketika memberikan nasihat, dengan alasan bahwa apa yang disampaikan orang tua berbeda atau bertentangan dengan“aturan” yang disampaikan oleh temannya.
c)      Pengaruh figure otoritas terhadap perkembangan nilai moral individu Masalah hampir tidak ada seorangpun yang memandang pentingnya membantu anak untuk menghilangkan kebingungan yang ada pada pikiran atau kepala mereka.Hampir tidak ada seorangpun yang memandang penting membantu anak untuk memecahkan dan menyelesaikan pemikiran yang memusingkan tersebut.
d)     Pengaruh media komunikasi terhadap perkembangan nilai moralKomunikasi mutakhir tentu fokus akan mengembangkan suatu pandangan hidup yangterfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun media-mediatersebut justru meyuguhkan berbagai pandangan hidup yang sangat variatif pada anak.
e)      Pengaruh otak atau berfikir terhadap perkembangan nilai moral Pengalaman itu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap prose pematangan, dengan demikian guru/pendidik dapat dan harus membimbing anak melaui prosesyang kontinu melalui pengembangan situasi bermasalah yang memperkaya kesempatan berfikir.
f)       Pengaruh informasi terhadap perkembangan nilai moral Setiap hari manusia mendapatkan informasi, informasi ini berpengaruh terhadap system keyakinan yang dimiliki oleh individu, baik infomasi itu diterima secara keseluruhan, diterima sebagian atau ditolak semuanya, namun bagaimanapu ninformasi itu ditolak akan menguatkan keyakinan yang telah ada pada individu tersebut
E. Perbedaan Antara Hukum dan Moral
Menurut filsuf Kant (1724 - 1804) perbedaan antara hukum dan moral terletak pada tuntutan terhadap dua jenis kaidah. Kaidah hukum mengarah diri hanya untuk perbuatan lahiriah. Jadi berperilaku hukum sesuai dengan yang diperintahkan. Lain dengan kaidah moral yang mempunyai kaitan dengan alasan atau motivasi yang dilakukannya perbuatan lahiriyah. Pendek kata hukum berkaitan dengan lahiriah dan moral berkaitan dengan batiniah dan lahiriah. Tapi hal ini sudah ketinggalan di dalam hukum modren sehingga dapat disimpulkan lagi kaidah tersebut dibagi menjadi tiga.
Pertama kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah terpenting yang dikenal manusia. Disini suatu kaidah hukum bersifat netral atau teknikal dan secara moral adalah indiferen namun tujuannya tetap mengacu pada moral dan perlindungan hidup manusia. Kedua adalah kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi manusia, dan kaidah yang paling penting itu adalah kaidah hukum moral. Sehingga disini terjadi tumpang tindih antara moral dan hukum. Ketiga adalah kaidah moral yang mengatasi hukum. Banyak kaidah moral yang berada diluar hukum positif seperti hubungan afektif, hubungan ikatan keluarga dan hubungan lingkungan persahabatan.
Setiap orang punya moral pribadi yang tidak ada dalam hukum positif. Yang dimaksud disini adalah kaidah moral yang khas yaitu kaidah yang menuntut perbuatan supererogasi dimana seseorang melakukuan sesuatu lebih dari yang dituntut dari dirinya sebagai kewajiban moral. Misalnya pengorbanan diri heroik seperti tindakan seorang perwira komando yang menjatuhkn diri ke granat untuk melindungi prajuritnya yang baru sedang gugup yang tidak sengaja mncabut pengaman granat.
Perbuatan seperti ini menurut orang, secara moral baik jika dilakukan tapi belum tentu tidak baik atau buruk jika tidak dilakukan. Sehingga hal ini mempunyai batasan yang belum jelas. Sehingga kita juga harus membicarakan tentang etika kewajiban, etika kaidah dan etika nilai.
Di indonesi moral itu terlihat dalam Undang-Undang Pornografi merupakan undang-undang yang telah berhasil mengkriminalisasi moralitas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Di dalam Undang-Undang Pornografi, kata kunci dalam definisi tentang pornografi adalah,“melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Secara kritikal dapat dikatakan bahwa berani berbuat berani bertanggung jawab.  Sang Napi adalah seorang pencuri, itu berarti ia melakukan suatu pelanggaran. Ia pantas dihukum. Tetapi apakah hukumannya itu harus dibebaskan oleh oknum tertentu dengan suatu bayaran yang sangat mahal yaitu dirinya sendiri, Do ut Des adalah salah satu terminus ekonomikus dari bahasa Latin yang berarti bahwa saya memberi agar saya menerima. Rupanya oknum polisi tersebut salah mengerti tentang makna dari pada istilah ini. Model berpikir ini baik jika digunakan dalam dunia  perdagangan, bukan dalam penyelesaian persoalan hukum. Sebab ranah hukum tidak mengenal baik dan tidaknya melainkan salah atau benar. Sehingga sebagai masyarakat yang bebas dan bermoral, patut mempertanyakan kesalahan mereka, siapakah yang paling bersalah. Oknum polisi ataukah sang Napi. Jikalu keduanya sama-sama bersalah katakanlah kepada masyarakat bahwa keduanya bersalah. Akan tetap apabila sang Napi saja yang bersalah, lantas bagaimana dengan nasib si pemerkosa.
Dengan demikian, pilihan, pengambilan sikap dan tindakan harus dipertanggungjawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan autentik, terhadap orang lain. Karena itu orang mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya baik secara hukum maupun moral. Tanggung jawab terkadang dianggap membuat orang tidak bebas, karena itu orang menolak untuk bertanggung jawab dan berlindung di balik institusi di mana ia mengabdi.
Menolak untuk bertanggung jawab berarti tahu dan sadar apa yang harus dilakukan tetapi tidak melakukannya karena  terasa berat. Itu berarti orang sadar akan perbuatan yang paling bernilai dan pantas. Namun, tak melakukannya karena ia memiliki otoritas tertentu yang melindunginya. Dalam kasus ini, oknum yang melakukan tindakan seperti ini, mempunyai kehendak yang lemah, sehingga ia menolak untuk bertanggung jawab dan mental seperti ini semestinya dari pihak institusi harus memberikan sanksi yang setimpal agar oknum tersebut bisa menjadi insan yang sadar, akan nilai moralitas dan hukum yang benar sebagaimana mestinya dalam tatanan negara republik ini.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1.      Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secarasistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukumlebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral.Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harusdianggap utis dan tidak etis.
2.      Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukummembatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3.      Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitandengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaanhanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal daridalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4.      Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukumadat, namun hukum itu harus di akui oleh negarasupaya berlaku sebagaihukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi padaindividu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan caralainmasyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapatmengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dantidak sebaliknya.[5]
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1.      Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan uhkumalam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2.      Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar dirimanusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3.      Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan.
4.      Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5.      Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6.      Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat,sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu(1990,119).
F. Hubungan Hukum dan Moral
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “quit leges sine moribus”. Apalah artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas. Moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak social dari moralitas. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan.
Antara hukum dengan moral, untuk itu dalam konteks pengambilan keputusan hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral membutuhkan hukum. Apalah artinya hukum jika tidak disertai moralitas.

A. Kesimpulan

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dan Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang mengatakan “quit leges sine moribus”. Apalah artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas. Moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak social dari moralitas. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan.

Daftar Pustaka
Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Nusa Media. Bandung. 2011. Halaman 68. Cetakan kedelapan.
R. Seoroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grapika. Jakarta. 2004. Halaman 26. Cetakan keempat.
Setiadi, Elly M. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana PredanaMedia Group.
Hukum.id.wikipedia.org. diakses tanggal 15. Jam 20:00 wib



[1] Hukum.id.wikipedia.org. diakses tanggal 15. Jam 20:00 wib
[2] R. Seoroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grapika. Jakarta. 2004. Halaman 26. Cetakan keempat
[3] Setiadi, Elly M. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana PredanaMedia Group. Halaman 34
[4] Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Nusa Media. Bandung. 2011. Halaman 68. Cetakan kedelapan.

[5] Perbedaan antara hukum dan moral. http://www.scribd.com/doc/46875413/Antara-Hukum-Dan-Moral-Terdapat-Hubungan-Yang-Erat-Sekali, diakses tanggal 17 juni 2012. Jam 23:00

Selasa, 19 Juni 2012

KEKUASAAN POLITIK SEBAGAI ASPEK PENGUBAH HUKUM


A. Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992). Dalam hal ini, kekuasaan dapat diartikan sebagai berikut:
1.      Kekuasaan Golongan;
2.      Kekuasaan Raja;
3.      Kekuasaan Pejabat Negara.
Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah atau dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, membuat Undang-Undang (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada Undang-Undang (objek dari kekuasaan).
Dalam tataran teoritis hubungan hukum dan kekuasaan saling mempengaruhi, hukum ada karena dibuat penguasa yang sah dan sebaliknya perbuatan penguasa diatur oleh hukum yang dibuatnya. Namun apabila terjadi pertentangan maka energi sering kalah kuat dengan energi kekuasaan. Akibatnya model hukum sangat tergantung pada tipe kekuasaan. Dalam kekuasaan yang bersifat otoriter akan melahirkan hukum yang bersifat konservatif dan ortodok. Sebaliknya dalam kekuasaan yang demokratis akan melahirkan hukum yang bersifat responsif dan populis.
Hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki Esensi dan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain dan bersifat hirarkis. Kekuasaan tertinggi adalah kedaulatan, yaitu kekuasaan negara secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tak terkecuali.
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan (Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit), kedaulatan hukum (rechtssouvereinteit) , dan kedaulatan rakyat (volksouvereinteit) .
B. Politik  
Secara Etimologi Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.[2]
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Politik merupakan upaya untuk ikut berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat. Karena menyangkut kepentingan orang banyak dan kepemimpinan atas masyarakat luas atau bisa dikatakan penyangkut dengan kepentingan publik, maka politik amat sangat dekat dengan kekuasaan. Inilah yang membuat banyak orang memutuskan terjun ke Dunia politik. Karena dengan terjun ke politik, orang akan semakin dekat dengan kekuasaan.
 Konsep kekuasaan politik perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita (untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat.
Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.
C. Kekuasaan Politik Mempengaruhi Hukum
Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Sebagai contoh, Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti memiliki kekuasaan tetapi memiliki kewenangan yang diperolehnya dari Undang-Undang Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang di jalankan maka telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu bisa dituntut dan dikenakan sanksi.
Sedangkan kekuasaan politik, tidak berdasar dari Undang-Undang, tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi penggunaan kekuasaan yang konstitusional.        Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik, pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan negara, Jhon Austin mengemukakan bahwa hukum itu adalah perintah dari penguasa negara, dan hakikat hukum itu terletak pada unsur perintah itu. Hukum itu merupakan suatu sistem yang tepat, logis dan tertutup, oleh karna itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu:
1.      Hukum yang dari tuhan untuk manusia (the divine laws)
2.      Hukum yang dibuat oleh manusia.
Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat terdapat empat unsur, yaitu:
1.      pemerintah (command)
2.      sanksi (sanction)
3.      kewajiban (duty)
4.      kedaulatan (sovereignty)
Pendapat para Ahli terhadap Hukum, sebagai berikut:
a)      Menurut Jhon Austin sebagai pelopor aliran positivisme hukum memandang bahwa hukum itu tiada lain kecuali perintah yang diberikan oleh penguasa (law is a command of lawgivers).[3]
b)      Menurut Mochtar Kesumaatmadja “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di suatu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa . Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan.
Selain itu hukum merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh yang popular misalnya sepakterjang para raja absolute dan dictator. Atau bukan hanya raja bahkan presiden pun jika tidak dibatasi dengan baik bisa berbuat semena-mena dengan kekuasaannya.
Baik buruknya kekuasaan, bergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau atau sudah disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.
Kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, otoritas.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang defakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak memberikan perintah.
Dari beberapa penjelasa di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh hukum dan kekuasaan adalah pengaruh timbal balik yang saling mengontro dan melengkapi. Karena kekuasaan yang tanpa hukum akan terjadi potensi kuat terhadap kesewenang-wenangan sedangkan hukum tanpa kekuasaan menjadi tidak memiliki kekuatan memaksa dalam menyelenggarakan dan mewujudkan keamanan, ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara.
D. Perubahan Hukum Menurut Pandangan Teori
Adapun tentang defenisi hukum sampai dengan saat ini, belum ada satupun yang diakui para ahli tentang defenisi hukum, di bawah ini akan di uraikan bebarapa pendapat ahli tentang defenisi hukum, sebagai berikut:, yaitu:
1.      Menurut Hans When kata hukum berasal dari bahasa Arab, asal katanya “hukm” kata jama’nya “Ahkam” yang berarti putusan (judgement, verdice, decision), ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government) dan kekuasaan (authority, power).
2.      Menurut Vinogradoff, hukum adalah seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang.
3.      Menurut Bellefroid, mengemukakan bahwa hukum adalah segala aturan yang berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyakat itu.
Dari beberapa defenisi hukum di atas menurut beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang dibuat tersistem dan terencana yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarat.
Hukum menurut sifatnya akan mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan tempat dan waktu, ada dua pandangan yang sangat dominanan dalam rangka perubahan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan negara, dimana keduanya saling tarik menarik dan masing-masing mempunyai alasan pembenarnya, kedua pandangan itu dikenal dengan pandangan tradisional dan pandangan modren.
a. Pandangan  Tradisional
Pandangan tradisional dalam rangka perubahan hukum mengatakan bahwa masyarakat perlu perubahan dahulu, baru hukum datang untuk mengaturnya. Biasanya teknologi dan ekonomi masuk dalam kegiatan masyarakat dan kemudian keduanya berjalan, baru hukum datang untuk mengatur untuk mengkondisikan yang telah ada dalam masyarakat itu. Menurut pandangan ini disini hukum adalah fasif, dan hukum mengalami ketertinggalan karna perubahan dalam masyarakat.
b. Pandangan Modren
Pandangan modren mengatakan bahwa hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, oleh karena itu hukum harus berada bersamaan dengan peristiwa yang terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai penbenar atau mengesahkan segala hal-hal yang terjadi setelah masyarakat berubah, tetapi hukum harus tampil dahulu baru peristiwa mengikutinya, bahwa hukum  berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang dipilih. Disini hukum menurut pandangan ini, adalah aktif sebagai alat rekayasa sosial (law a tol of social engineering).
Dari pandangan di atas hukum dapat mengalami perubahan sesuai dengan waktu dan tempatnya dalam masyarakat, disini hukum terlihat jelas bahwa hukum hanya di jadikan alat sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara.
E. Kekuasaan Politik Sebagai Pengubah Hukum
            Menurut  Bruggink hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink defenisi di atas memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum, dalam arti proses yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum itu sendiri.[4]
Hukum dalam arti undang-undang,  bahwa Hukum sebagai produk kekuasaan politik tidak dapat di sangkal lagi, hukum dibuat oleh kekuasaan politik dalam tatanan pemerintahan negara. Dengan asumsi dan konsep tertentu satu pandangan ilmiah itu bersifat relatif, tergantung terhadap konsep dan pandangan ilmiah yang dipergunakan,  dari asumsi dan konsep dari pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum adalah produk politik yang dibuat oleh kekuasaan politik. Untuk melihat kenyataannya bahwa hukum dalam arti undang-undang dibuat oleh kekuasaan politik maka rujukannya adalah Das Sein dan Das Sollen.
1)       Das Sein (kenyataannya)
Jika didasarkan pada kenyataan (Das sein), hukum adalah produk kekusaan politik, dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya hukum di konsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif (kekuasaan politik) maka tak dapat di bantahkan lagi bahwa hukum adalah produk politik sebab  merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun dominasi kekuasaan, kekuatan politik yang terbasar.
Dalam konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik, siapa yang dapat membantahkan  bahwa hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik, itulah sebabnya Von Krichman mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalannya.[5]
Mengenai hal ini dapat dikemukakan contoh dalam perumusan Rancangan Undang-Undang penertiban perjudian pada tahun 1974, salah seorang anggota Legislatif menanyakan tentang tentang kreria apa yang dipergunakan untuk menetukan Perubahan dan Pemberatan ancaman pidana terhadap pasal 303 dan pasal 542 KUHPidana, jawaban pemerintah atas pernyataan tersebut dikemukakan pada sidang tanggal 24 September 1974, dengan mengemukakan  “Penetapan besarnya ancaman pidana tergantung daripada subjektivitas, perasaan dan kewajaran menurut pembuat undang-undang”.[6]
2)       Das Sollen (keinginan dan keharusan)
Namun jika di dasarkan pada keinginan dan keharusan (das sollen) atau jika hukum tidak di artikan sebagai undang-undang maka menjadi lain, bahwa hukum tidak hanya di artikan sebagai undang-undangan, bisa juga diartikan sebagai putusan pengadilan (yurisprudensi). Dan lain-lain. 
 Dari asumsi di atas bahwa hukum dan politik saling memengaruhi, menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa politik dan hukum itu indeterminan, sebab politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh. Artinya Bahwa hukum dan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

F. Kesimpulan
Hukum dalam arti undang-undang,  bahwa Hukum sebagai produk kekuasaan politik tidak dapat di sangkal lagi, hukum dibuat oleh kekuasaan politik dalam tatanan pemerintahan negara. Dengan asumsi dan konsep tertentu satu pandangan ilmiah itu bersifat relatif, tergantung terhadap konsep dan pandangan ilmiah yang dipergunakan,  dari asumsi dan konsep dari pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum adalah produk politik yang dibuat oleh kekuasaan politik. Untuk melihat kenyataannya bahwa hukum dalam arti undang-undang dibuat oleh kekuasaan politik maka rujukannya adalah Das Sein dan Das Sollen.
Dalam faktanya hukum di konsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif (kekuasaan politik) maka tak dapat di bantahkan lagi bahwa hukum adalah produk politik sebab  merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun dominasi kekuasaan, kekuatan politik yang terbasar.
Bahwa perubahan, penambahan, pembuatan, dan pembatalan suatu Undang-Undang tergantung kepada Kekuasaan Politik yang akan menentukannya sesuai dengan subjektivitas dan perasaan dan kewajaran
menurut Pembuat Udang-Undang. 


DAFTAR PUSTAKA

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2008, Edisi ke empat
[2] wikipedia.org/wiki/Politik, diakses tanggal 7/06/2012, jam 20:00 Wib
[3] Abdul manan. Aspek-aspek pengubah hukum. Kencana, jakarta, 2009, cetakan ketiga, halaman 106
[4] H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto. Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali, Revika Aditama, Bandung, 2008, Halaman 60, Cetakan keempat.
[5] Mahfud Md, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, halaman 5, edisi revisi keempat
[6] Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publising, Yogyakarta, 2010, Halaman 79, Cetakan Keempat.